sadar nggak sih, tampang bukan jaminan


Pernah terpikir sama gue kalo pada akhirnya, kita akan menghabiskan waktu bersama pasangan kita dengan mengobrol.
Makanya gue suka miris aja ngeliat orang yang selalu tertarik dengan fisik terlebih dahulu. Misalnya suka sama seseorang karena dia ganteng atau cantik. Kalo kata orang tua dulu, ya sampe sekarang sih, ganteng atau cantik itu gak menjamin isi hati seseorang.
Bahkan sampe kita tua nanti, sudah punya anak dan sudah punya cucu, kita bakalan menghabiskan waktu dengan mengobrol dan bercerita, mungkin juga bahas yang dulu-dulu. Kenangan, memori, semuanya bakalan tercipta lagi kan. Wajah yang dulunya cantik, ganteng, mancung, putih atau bagaimana itu ujung-ujungnya bakalan; keriput.

Terus juga gue paling sebel kalo denger orang ngomong kayak gini, "ih, kok si itu mau sih sama si ini. si ini kan jelek."
Menurut lo?
Emang jelek itu alasan utama buat gak disukain sama orang? Kan enggak. Kalo tampangnya biasa aja, bukan jelek ya, menurut gue ciptaan Tuhan itu gak ada yang jelek, tapi hatinya mulia ya itu nilai yang plus banget kan.


Dulu Mama gue sempet bilang sih, "cari pasangan hidup itu yang enak diajak ngobrol dan mengerti kita."

Ya bener juga kata Mama, karena kenyataan yang gue liat sampe sekarang itu ya kedua orang tua gue sering mengobrol setiap ada waktu senggang. Bukannya ngeliatin wajah satu sama lain yang mulai keriput kan, hahaha. Itu gak abadi dan gak bertahan lama. Kadang, gue juga suka ikutan kalo Papa sama Mama gue lagi asyik mengobrol. Ya sebagai gambaran aja sih, kalo gue tua nanti, gue juga bakalan begitu sama suami gue. Cerita. Mengobrol.
Itu aja sih. Jujur, gue sendiri gak pernah menjadikan fisik yang oke sebagai alasan buat gue suka sama orang. Ganteng tapi playboy ya buat apa. Cantik tapi gak ada harganya ya buat apa juga.
Nah, kalo misalkan kita ketemu sama orang yang ganteng atau cantik tapi hatinya juga baik, ya anggap aja itu bonus dari Tuhan. Nyaris sempurna. Tapi pasti kekurangannya ada juga kan. Itu sih bagaimana kita bisa menerima atau enggaknya aja.

Well, semua tulisan yang tertuang disini adalah pemikiran gue aja yang mau gue share. Buat yang udah baca, makasih banyak ya hihi. 
Adios!

Secangkir kopi untuk Papa

Papaku itu pencinta kopi. Penyuka kopi. Segala jenis kopi beliau suka. Tapi kopi hitam favoritnya. Mungkin karena zamannya. Papa bilang, sehari saja tidak bertemu kopi, kurang semangatnya. Ada yang kurang rasanya. Bahkan, Papa bisa menjadi sakit kepala apabila tidak minum kopi. He is a coffee-addict. Kami semua memakluminya, kami semua paham apa kesukaan Papa. Termasuk aku. Anak sulungnya.
Suatu sore, saat aku sedang duduk memainkan BlackBerry-ku dengan jari jemari karya Tuhan ini, Papa memanggil namaku.
"hana, tolong buatkan Papa kopi, nak."
Saat itu Mama pulang telat karena masih ada pekerjaan, jadi Papa pasti memintaku untuk membuatkannya kopi.
"iya, Pa."
Dengan ragu-ragu aku berjalan menuju dapur, sambil berpikir seberapa takaran yang harus aku berikan untuk secangkir kopi ini. Aku mulai memasak air, menyiapkan cangkir, menuangkan kopi hitam kesukaan Papa, menuangkan gula, dengan kebingungan. Akhirnya aku menggunakan feeling-ku dalam takaran di cangkir kopi tersebut.
'ya mungkin kira-kira segini.', kataku dalam hati.
Tak lama kemudian, aku menyajikan kopi tersebut kepada Papa. Dengan ragu-ragu.
Papa mulai memegang gagang cangkirnya, lalu menatapnya sebentar, kemudian menghirupnya untuk beberapa saat, dan meminumnya dengan perlahan.
"waaah, enak sekali nih.", komentar Papa sambil tersenyum kepadaku.
"masa sih, Pa? Hana gak tau lho takarannya seberapa."
"segini juga udah enak banget, makasih ya nak."
"oke Pa, sama-sama."
Dengan perasaan riang karena berhasil membuatkan kopi untuk pertama kalinya kepada Papa, aku kembali ke kamar.

                                                * * * *

Malam harinya, saat aku sedang membersihkan meja dan ingin mencuci piring dan gelas, dengan penasaran aku mencoba kopi yang aku buatkan untuk Papa tadi sore. Aku terkejut. Ternyata rasanya sangat tidak enak dan tidak karuan.
Sambil tertawa kecil aku mengingat kejadian tadi sore. Ah, sudahlah.
Papa memang tidak pernah mencela anak-anak gadisnya. Semua hal yang dilakukan Papa semata-mata hanya untuk membuat aku dan adik-adik senang. Luar biasa. Padahal bisa saja Papa dengan mudahnya mengatakan kepadaku bahwa rasa kopinya sama sekali tidak enak, pahit, kurang kental atau apapun. Padahal Papa bisa saja menyuruhku untuk membuat lagi secangkir kopi yang baru yang lebih enak dari sebelumnya. Tapi Papa tidak melakukannya. Beliau tetap memujiku. Memuji anak gadis pertamanya. Apapun rasa kopinya, entah enak atau tidak. Aku sangat salut padanya. Papaku hebat. Luar biasa hebatnya.