Seharusnya Bersyukur

Kadang pernah terpikir olehku, betapa lelah badan ini. Betapa porak porandanya otak ini. Letih, iya. Lelah, juga iya. Ketika waktu istirahat yang seharusnya normal namun menjadi sebentar saja. Ya, aku adalah seorang pekerja merangkap seorang mahasiswi. 7 hari dalam seminggu, aku habiskan 5 hari untuk bekerja dan 2 hari untuk kuliah. Lelah sekali rasanya.
Tapi ketika rasa lelah dan jenuh selalu saja datang menghampiri, aku kembali teringat sesuatu. Teringat lagi akan masa-masa dahulu ketika aku sedang sulit-sulitnya.
Tak pernah terpikir oleh diri ini, dulu, sebuah pencapaian yang menurutku sudah luar biasa saat ini. Begitu mudahnya Tuhan memberikan rezeki setelah berpeluh-peluh bibirku ini berceloteh. Juga mencerdaskan. Kemudian rezeki datang. Datang lagi. Datang lagi. Datang lagi. Begitu seterusnya.
Selalu terselip rasa syukur yang teramat sangat, bahwa aku dilahirkan dan dibesarkan dalam keadaan luar biasa 'beruntung'.
Melihat orang di luar sana yang ingin mencicipi rasanya kuliah namun tidak mampu, atau juga melihat mereka yang mulai dewasa dan mencari pekerjaan namun tak kunjung mendapatkannya.
Terselip lagi rasa itu. Rasa syukur kepada Tuhan Semesta Alam yang menjadikan alam semesta ini bergerak indah mengikuti titah-Nya. Dia menjadikan semuanya adil dan teratur, termasuk apa yang telah Dia rencanakan untukku. Jalan mana yang harus aku tempuh, bagaimana cara aku menempuhnya dan apa saja yang harus aku persiapkan untuk menempuh jalan-Nya.
Seharusnya aku bersyukur. Kataku dalam hati.
Seharusnya tidak ada keluhan lagi. Kataku kembali.

Secangkir kopi untuk Papa

Papaku itu pencinta kopi. Penyuka kopi. Segala jenis kopi beliau suka. Tapi kopi hitam favoritnya. Mungkin karena zamannya. Papa bilang, sehari saja tidak bertemu kopi, kurang semangatnya. Ada yang kurang rasanya. Bahkan, Papa bisa menjadi sakit kepala apabila tidak minum kopi. He is a coffee-addict. Kami semua memakluminya, kami semua paham apa kesukaan Papa. Termasuk aku. Anak sulungnya.
Suatu sore, saat aku sedang duduk memainkan BlackBerry-ku dengan jari jemari karya Tuhan ini, Papa memanggil namaku.
"hana, tolong buatkan Papa kopi, nak."
Saat itu Mama pulang telat karena masih ada pekerjaan, jadi Papa pasti memintaku untuk membuatkannya kopi.
"iya, Pa."
Dengan ragu-ragu aku berjalan menuju dapur, sambil berpikir seberapa takaran yang harus aku berikan untuk secangkir kopi ini. Aku mulai memasak air, menyiapkan cangkir, menuangkan kopi hitam kesukaan Papa, menuangkan gula, dengan kebingungan. Akhirnya aku menggunakan feeling-ku dalam takaran di cangkir kopi tersebut.
'ya mungkin kira-kira segini.', kataku dalam hati.
Tak lama kemudian, aku menyajikan kopi tersebut kepada Papa. Dengan ragu-ragu.
Papa mulai memegang gagang cangkirnya, lalu menatapnya sebentar, kemudian menghirupnya untuk beberapa saat, dan meminumnya dengan perlahan.
"waaah, enak sekali nih.", komentar Papa sambil tersenyum kepadaku.
"masa sih, Pa? Hana gak tau lho takarannya seberapa."
"segini juga udah enak banget, makasih ya nak."
"oke Pa, sama-sama."
Dengan perasaan riang karena berhasil membuatkan kopi untuk pertama kalinya kepada Papa, aku kembali ke kamar.

                                                * * * *

Malam harinya, saat aku sedang membersihkan meja dan ingin mencuci piring dan gelas, dengan penasaran aku mencoba kopi yang aku buatkan untuk Papa tadi sore. Aku terkejut. Ternyata rasanya sangat tidak enak dan tidak karuan.
Sambil tertawa kecil aku mengingat kejadian tadi sore. Ah, sudahlah.
Papa memang tidak pernah mencela anak-anak gadisnya. Semua hal yang dilakukan Papa semata-mata hanya untuk membuat aku dan adik-adik senang. Luar biasa. Padahal bisa saja Papa dengan mudahnya mengatakan kepadaku bahwa rasa kopinya sama sekali tidak enak, pahit, kurang kental atau apapun. Padahal Papa bisa saja menyuruhku untuk membuat lagi secangkir kopi yang baru yang lebih enak dari sebelumnya. Tapi Papa tidak melakukannya. Beliau tetap memujiku. Memuji anak gadis pertamanya. Apapun rasa kopinya, entah enak atau tidak. Aku sangat salut padanya. Papaku hebat. Luar biasa hebatnya.